
Palu, beritsulteng.id – Uji materi UU NO 10 Tahun 2016 tentang Pilkada saat ini sedang bergulir di Mahkamah Kontitusi (MK).
Sebanyak 11 kepala daerah meminta judicial review terhadap Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat karena menilai Pilkada serentak 2024 bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.
UU Pilkada yang digugat oleh belasan kepala daerah yakni Gubernur Jambi, dan Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Walikota Makassar, Walikota Bontang, Walikota Bukittinggi.
Dengan mengacu ketentuan Pasal 201 Ayat (7), (8) dan (9) UU, dimana Pasal tersebut berkaitan dengan desain keserentakan pilkada nasional tahun 2024, dengan ketentuan itu telah merugikan sejumlah 270 Kepala Daerah, utamanya terkait terpangkasnya masa jabatan para Kepala Daerah secara signifikan, yang tidak sampai lima tahun masa jabatannya.
Koordinator Peneliti & Pengkajian LPK Sulteng Sigit Wibowo berpandangan, ” Dengan mengacu ketentuan pasal tersebut kecil kemungkinan Mahkamah Konstitusi ( MK ) mengabulkan judicial review tersebut “.
Menurutnya pertimbangan hukum Proses serangkaian kebijakan yang tertuang dalam UU NO 10 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada seluruh tingkatan termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) bersifat norma hukum yang berlaku sekali-selesai (einmalig).
Dalam arti norma hukum yang berlakunya hanya satu kali saja atau transisional dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya penetapan itu norma hukum tersebut selesai demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024.
Sehingga pemilihan berikutnya periodesasi dimana pemilihan berikutnya dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak nasional, tutur Sigit, Pada Kamis (1/02/2024)
Terkait apakah pemotongan masa jabatan Kepala Daerah hasil pilkada pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada merupakan pelanggaran HAM, menurut Sigit hal itu tidak bertentangan dengan konsep Hak Asasi Manusia ( HAM ) Karena hal tersebut Sebagai hak Asasi politik, maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Ia menambahkan, Selain itu pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala Daerah juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk seluruh Kepala Daerah hasil pemilihan pada 2020, sehingga tidak bersifat diskriminatif.
Ketentuan masa jabatan Kepala Daerah yang terpilih saat Pilkada 2020 akan berakhir pada penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024, telah diketahui oleh semua pasangan calon kepala daerah yang ikut maju dalam bursa pilkada 2020 karena telah diatur secara tegas dalam Pasal 201 ayat (7) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Sehingga pengurangan atau pemotongan waktu masa jabatan kepala daerah telah diketahui secara pasti oleh setiap pasangan calon, ucapnya.
Terkait skema Pilkada agar dilakukan dua gelombang sebagaimana yang diajukan 11 kepala daerah dalam judicial rivew yaitu gelombang pertama November 2024 dan gelombang Kedua pada November 2025 nampaknya argumentasi pertimbangan hukum tersebut akan sulit diterima hakim MK, karena terbentuknya UU NO 10 Tahun 2016 berdasarkan norma Einmalig demi terselenggaranya Pemilu serentak Tahun 2024.
Selain itu jika dengan argumentasi demi situasi keamanan yang dianggap sangat rawan karena pemilu serentak terkait mungkin skema pilkada dua gelombang kemungkinan besar bisa dilakukan namun ditahun yang sama namun berbeda waktu bulannya saja, ungkap Sigit.
Namun pada prinsipnya UU No 10 Tahun 2016 ingin pelantikan para kepala daerah dan pemerintah tingkat pusat dilakukan secara serentak, hal ini agar rencana pembangunan semua pemerintahan mulai tingkat pusat hingga daerah digelar bersamaan, jelas Sigit.
Bagaimana jika Uji Materi tersebut dikabulkan Hakim MK, Sigit pun mengatakan, Hakim Bisa saja mengabulkan Uji Materi tersebut, Jika nantinya MK memutuskan mengubah pasal di UU Nomor 10 Tahun 2016 itu, maka secara otomatis UU yang mengatur tentang pilkada itu harus direvisi terlebih dahulu dan itu perlu waktu.
Sementara tahapan pilkada serentak 2024 sudah sudah semakin dekat. Namun karena kondisinya mendesak, pemerintah bisa saja mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), sebagai pelaksanaan putusan MK. “Ya, kita tunggu saja bagaimana nanti putusan MK, tutupnya.
Sebelumnya juga, Pada Rabu 31 Januari 2024 Pemprov Sulteng yang di pimpin Staf Ahli Biro Pemerintahan Dan Kesra Dr.Rohani Mastur, Karo Hukum Pemprov Sulteng Adiman, Karo Otda Dahri Saleh, serta Bupati Sigi dan Balut datang ke Jakarta mewakili gubernur Sulteng, melakukan pertemuan diskusi panjang dengan pengacara visi law office, Febriansyah,SH, ucap Karo Hukum Prov Sulteng Adiman.
Nantinya teman – teman yang tergabung di kantor hukum visi law office, akan membuat surat permohonan ke MK untuk Judicial review UU Pilkada, atas dasar masukan dari 270 kepala daerah yang terkena dampak, yang di kuatkan sesuai dengan amanat UUD 1945 masa jabatan kepala daerah 5 Tahun dan berdasarkan pasal 162 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, akunya.
Selain Gubernur Sulteng terdampak dalam pemotongan jabatan hasil Pilkada 2020 di Sulteng diantaranya Walikota Palu, Bupati / Wakil Bupati Balut, Banggai, Tojo Unauna, Poso, Morowali Utara, Tolitoli dan Kabupaten Sigi, ungkap Adiman. ( Nasir Tula )