
Laporan ; Moh.Nasir Tula
Palu, beritasulteng.id – Konflik pertambangan emas di Poboya, Kota Palu, Sulawesi Tengah, terus bergejolak. Sengketa ini melibatkan masyarakat penambang tradisional, Pemerintah Daerah, PT Citra Palu Mineral (CPM) selaku pemegang kontrak karya, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Inti permasalahan adalah tuntutan penciutan lahan konsesi perusahaan dan pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) kepada warga setempat.
Awal Mula Konflik, Era sebelum tambang masuk
Sebelum masuknya perusahaan tambang, mayoritas warga Poboya dan lingkar tambang berprofesi sebagai petani dan pekebun. Lahan subur menghasilkan hasil bumi yang cukup untuk menghidupi keluarga.
Masuknya PT Citra Palu Mineral
PT CPM mulai beroperasi di wilayah Poboya setelah mendapatkan kontrak karya dari pemerintah pusat. Luas konsesi mencapai ribuan hektare, mencakup wilayah yang selama ini menjadi ruang hidup dan sumber ekonomi masyarakat.
Dampak terhadap warga
Aktivitas perusahaan berdampak pada rusaknya lahan pertanian dan berkurangnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Banyak warga kemudian beralih menjadi penambang emas tradisional untuk bertahan hidup.
Munculnya Penambangan Rakyat dan Label PETI
Warga melakukan penambangan emas secara tradisional di wilayah yang diyakini sebagai tanah warisan leluhur.
Aktivitas ini kerap disebut PETI (Pertambangan Tanpa Izin) oleh pemerintah, karena secara hukum lahan tersebut masuk dalam konsesi perusahaan.
Penambang rakyat menilai label PETI tidak adil, karena mereka bekerja di tanah sendiri yang sudah turun-temurun dikelola keluarga mereka.
Puncak Ketegangan: Tuntutan Penciutan Lahan
Masyarakat mendesak agar pemerintah mencabut sebagian lahan konsesi PT CPM untuk diberikan kepada penambang rakyat melalui mekanisme penciutan lahan kontrak karya.
Setelah penciutan dilakukan, warga menginginkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diterbitkan, sehingga aktivitas mereka menjadi legal dan dapat memberi kontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Aksi Demonstrasi Berulang
2022–2024: Beberapa kali aksi unjuk rasa digelar di Kota Palu dan lokasi tambang Poboya. Tuntutan yang disuarakan konsisten: penciutan lahan dan penerbitan IPR.
12 Agustus 2025: Sekitar 500 penambang tradisional kembali menggelar aksi di Jalan Batumoranga menuju kantor PT CPM.
Aksi ini diwarnai orasi, spanduk tuntutan, dan seruan agar pemerintah segera mengambil langkah tegas.
13 Agustus 2025: Tokoh masyarakat Poboya, Sofiyar, menyatakan aksi tersebut murni spontanitas warga akibat rasa frustrasi karena belum ada kejelasan dari pemerintah maupun perusahaan.
Pernyataan Tokoh Masyarakat
Sofiyar menegaskan bahwa masyarakat tidak menolak investasi, namun menuntut kerja sama yang adil.
“Kami tuan kampung di sini, tapi perusahaan bebas beroperasi. Kalau kami dilarang menambang, hentikan juga operasi perusahaan yang merusak lahan,” ujarnya.
Ia menambahkan, legalisasi tambang rakyat akan menghapus stigma PETI, membuka peluang kerja yang aman, serta memberi pemasukan resmi bagi daerah.
Harapan Warga
Pemerintah Kota Palu dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah diminta menjadi mediator dengan Kementerian ESDM.
Penciutan lahan dan penerbitan IPR dianggap sebagai solusi yang menguntungkan semua pihak: masyarakat mendapat legalitas, perusahaan tidak kehilangan seluruh konsesi, dan pemerintah mendapatkan pemasukan PAD.
Makna Konflik Poboya
Kasus Poboya bukan sekadar sengketa izin tambang. Ia menyentuh isu keadilan sosial, hak atas tanah leluhur, keberlanjutan lingkungan, dan masa depan ekonomi lokal.
Selama belum ada keputusan yang jelas, potensi benturan kepentingan antara masyarakat dan perusahaan akan tetap terbuka.
Catatan Redaksi beritasulteng.id